LintasButon.com,Pasarwajo — Suasana khidmat dan penuh makna menyelimuti kediaman pribadi Asisten I Sekretariat Daerah Kabupaten Buton, Alimani, S.Sos., M.Si., di Jalan KH. Dewantara, Pasarwajo, tempat berlangsungnya pesta pingitan dan khitanan keluarga yang digelar pada Kamis, 23 Oktober 2025.
Acara adat tersebut merupakan bagian dari tradisi luhur masyarakat Buton yang menandai masa peralihan anak menuju kedewasaan. Dalam kesempatan itu, Alimani menjelaskan bahwa kegiatan tersebut bukan sekadar pesta keluarga, melainkan penghormatan terhadap adat, budaya, dan nilai-nilai keagamaan yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Buton.
“Tradisi pingitan ini bukan hanya prosesi budaya, tetapi juga sarat nilai religius. Di dalamnya terkandung ajaran kesucian, kesabaran, serta penghormatan terhadap martabat perempuan dan keluarga,” ujar Alimani dengan penuh makna.
Adapun yang menjalani prosesi pingitan yaitu:
- Nuryahya Fadliananingih Alamin (Putri pertama)
- Muslimah Desi Cahyanih Alamin (Putri kedua)
- Neyla Ariqab Syafeeana (Ponakan)
Sementara itu, juga dilaksanakan khitanan untuk Navcal Hadid Alamsyah, ponakan dari Alimani. Prosesi khitanan ini menjadi pelengkap makna spiritual acara tersebut, sebagai simbol penyucian diri dan ketaatan terhadap ajaran Islam yang telah lama menyatu dalam adat Buton.
Rangkaian kegiatan adat dimulai dengan pesuo—masa pingitan dan penyucian diri selama empat hari—kemudian dilanjutkan dengan polimbaa’a, dan diakhiri dengan acara perjamuan sebagai tanda syukur keluarga besar.
Acara sakral ini turut dihadiri oleh Bupati Buton Alvin Akawijaya Putra, S.H., para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), para camat, serta sejumlah kepala desa. Kehadiran para pejabat dan tokoh masyarakat menjadi simbol bahwa adat bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan cermin identitas yang masih hidup dalam denyut pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat Buton.
Suasana acara berlangsung hangat, tertib, dan penuh kekhidmatan. Salah seorang tamu undangan menuturkan bahwa seluruh tahapan adat berjalan sesuai tata cara dan nilai budaya Buton yang sarat makna. “Adat seperti ini adalah warisan yang menautkan antara langit dan bumi — antara ajaran agama dan kebijaksanaan leluhur,” ujarnya.
Puncak acara ditandai dengan perjamuan adat yang berlangsung dalam nuansa syukur dan doa bersama. Di tengah lantunan doa dan kidung tradisi, terselip pesan bahwa agama, adat, dan budaya bukan untuk dipisahkan, melainkan dijalani secara seimbang, sebagaimana yang diwariskan para leluhur Buton sejak masa silam.
Di tengah derasnya arus modernisasi, langkah keluarga besar Alimani ini menjadi pengingat bahwa adat bukan penghalang kemajuan, tetapi jembatan antara masa lalu yang bermartabat dan masa depan yang berkarakter — nilai yang kini kian jarang ditemukan di tengah masyarakat yang lebih sering merayakan kemajuan lahiriah, namun melupakan akar budaya dan ruh keagamaannya.








